Ummiku sudah menjadi guru sejak ia belum menikah. Dan sudah di angkat jadi PNS di sebuah kabupaten terpencil bernama Tembilahan. Jaraknya dari Pekanbaru kira-kira 9 jam melalui darat dan laut. Disana desa terpencil banget. Jauh dari keramaian. Oya, pernah liat iklan RCTI yang jualan di atas sampan, nah di adaerah seperti itu lah ummiku di tugaksan mengajar.
Beberpa tahun kemudia (ciee) ummiku menikah dengan Buyaku yang orang Taluk kuantan, berjarak sekitar 4 jam dari Pekanbaru. Berkat kerjasama mereka, lahirlah aku, anak manis ini. Hihi.
Setelah berumur 3 tahun, aku berencana akn ikut ummi ke tembilahan. Tapi nenek melarang, maka terjadilah perdebatan antara ummi dan nenek, ummi yang tak mau pisah dari anaknya, tapi juga ingin bisa mengajar lagi. Sedangkan nenek tidak tega kalau cucu pertamanya yang manis ini ikut hidup susah di desa terpencil itu.
Akhirnya aku tetap tinggal di pekanbaru bersama nenek. Tinggal bersama nenek di rumah yang nyaman bersama tante dan om-om yang masih muda tentu lebih menyenangkan di bandingakan tinggal di dusun yang kalau mandi harus ke sungai dan minum harus tunggu air hujan karena airnya merah seperti teh. Aku hidup di manja nenek dan om tante. Maklum cucu pertama, keponakan pertama dan satu-satunya. Adik-adik yang rese’ sekarang mah belum lahir..
(kepanjangan nih muqaddimahnya)
Hari-hari ku bersama nenek yang seorang “Nenek Rumah Tangga” berjalan biasa aja, tapi ada suatu kejadian yang sering nenekku ceritakan di depan keluarga besar kalau sedang ngumpul.
Hari itu aku dan nenek pergi ke bank. Ini rutinitas setiap bulan untuk mengambil uang pensiun. Kakekku dulu adalah pegawai di bandara (dulu aku kira kakek pilot, ternyata bukan, Cuma di kantornya. Padahal kan begngsi banget punya kakek pilot.haha)
Bank Indonesia yang dekat dari rumah nenekku bisa di tempuh dengan jalan kaki. Tapi sebenarnya naik angkot juga bisa, tapi yah… nenekku itu sangaaattt….. hemat. Beliau adalah wanita terhemat yang pernah aku temui.
Saat kami jalan hampir sampai di gedung bank BI. Aku yang berjalan di belakang nenek (umur 3 tahun mana mau lagi jalan di gandeng) tiba-tiba berhenti. Tapi nenek tetap saja berjalan. Aku pun mengikuti langkah nenek perlahan sambil memanggil-manggil nenek.
“Nek…Nek… au ee..ee..ee..” kataku meracau
Rupanya nenek tak dengar dan terus saja berjalan hingga kami memasuki gerbang bank BI.
Aku yang mulai tak nyaman memanggil nenek lagi.
“Nek..ica au e..e…” kataku sambil berjalan terkangkang-kangkang.
Nenek menoleh padaku, mencoba mengartikan bahasa planet. Tapi nenek yang orang minang aseli tetap saja tak mengerti bahasaku. Nenek pun mengamit tanganku untuk terus berjalan. Tapi aku tetap diam tak mau bergerak. Nenek membungkuk ke arahku.
“Icha kenapa? Capek ya? Nenek gendong ya?” tapi aku memonyongkan mulut cemberut.
Geram dengan nenek yang tak mengerti bahasaku, aku pun menyodorkan pantat ku yang berisi ke arah nenek. Nenek langsung terkejut dan keluarlah bahasa minangnya.
“Onde.. ala tacirik di celana waang yo…!!!” (Aduh, udah berak dalam celana kau ya!)
Nenek pun menggendongku dengan posisi telungkup dan berjalan terbirit-birit pulang.
Maafkan aku Nek, udah nggak tahan. Hehe
nenek ku manis kan? setiap pulang kampung aku di bilang fotocopian nenek, benarkah?
#di ikutkan dalam iven FF Nostalgia Masa kecil
22 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
hihi keren kak
BalasHapus