Tampilkan postingan dengan label Cerpen Qu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Qu. Tampilkan semua postingan

08 April 2013

Cerpen : "Tanda Tangan"

4/08/2013 12:30:00 AM 14 Comments

Oleh : Risah Azzahra
*Di muat di koran harian Metro Riau (07-04-2013)               

 Sudah dua bulan Qisty mondar-mandir di kampus, keluar masuk ruang dosen dalam rangka mencari tujuh buah tanda tangan dosennya yang sangat berharga. Qisty baru saja selesai ujian proposal dan harus puas ketika kerja kerasnya mengerjakan proposal dan menjawab semua pertanyaan diseminar proposal dengan nilai B. Sebab itulah Qisty harus telaah proposal sebelum melanjutkan penelitian. Saat ini ia sedang mengurus administrasi untuk meminta telaah proposal. Sesuai prosedur, Qisty harus meminta tanda tangan dosen pembimbing, tanda tangan empat orang dosen penguji ketika proposal, ketua prodi, dan ketua koordinator seminar. Totalnya tujuh tanda tangan yang harus ia kumpulkan.

    Tapi apa daya, sudah dua bulan Qisty tak pernah bosan datang ke kampus, mencari dosen-dosen yang namanya tertera pada kertas satu halaman ini untuk meminta sebuah tanda tangan berharga. Tak pernah bosan juga Qisty menunggu di sudut kampus menunggu kedatangan dosen tersebut. Harapan akan diwisuda dan lulus dalam tiga setengah tahun telah terbayang dipelupuk mata. Harapan akan membanggakan orangtuanya.

    Qisty memastikan, harapannya tidaklah muluk-muluk. Ia hanya ingin lulus dalam waktu 3,5 tahun, 7 semester dengan IPK 3,5. Itu saja. apakah itu terlalu muluk? Terlihat simple, standar, menengah dan dipastikan bisa dicapai. Qisty sadar, ia bukanlah mahasiswa yang berharap lulus dengan predikat Cumlaude dengan IPK 4,00. Memang selama ini Qisty belum pernah mendapatkan nilai C. nilainya sebanding antara A dan B. karena itu lah IPK nya selalu terpaut di angka 3,5. Dan itu saja IPK yang diinginkannya ketika wisuda nanti. ia tidak mau bersusah payah mencapai IPK lebih dari itu, alasannya adalah agar angka IPK sama dengan angka lama studinya. Ah itu hanya alibi.

******
    Siang itu hujan lebat. Musim hujan memadang sedang meradang di bulan-bulan yang berakhiran “ber” ini.  Qisty dan beberapa pengendara motor lainnya terkurung di depan sebuha ruko. Menepi mengharapkan hujan segera turun. Sekitar setengah jam Qisty berdiri dengan tas dalam pelukannya. Penahan dingin. Setelah langit puas memuntahkan air rahmatnya, Qisty pun memulai melanjutkan perjalanan. Ditemani gerimis tipis sebesar jarum yang menemaninya hingga ke kampus. Ya, tujuan Qisty siang ini masih sama dengan dua bulan yang lalu. Mencari tanda tangan.

    Sampai di parkiran kampus, ia memperhatikan mobil-mobil yang diparkir disana. Berharap mobil Pak Syamsu hadir. Ketika mobil itu memasuki area parkir dan hadir di hadapan matanya, bukan main girangnya Qisty. Ia mengikuti langkah dosen pengujinya itu dari belakang. Diam-diam ia bersyukur dalam hati, kedatangannya tepat waktu.
    “Pak, saya mau minta tanda tangan surat telaah proposal.” Kata Qisty terbata-bata ketika dosen yang di buntutinya sampai ke kantor.

    “Aduh.. saya baru saja sampai nih, belum juga duduk. Tunggu dulu sana!” bentakan itu diterima Qisty tanpa terduga. Dengan muka melas Qisty keluar kantor dan berniat duduk di kursi, ternyata kursi itu basah terkena air tetesan dari atap yang bocor. Selain itu tak ada lagi tempat duduk yang kosong. Terpaksa ia berdiri dengan lesu.

    Selang lima belas menit kemudian, gadis semester tujuh itu melihat Pak Syamsu keluar dari kantor. Lagi-lagi ia membuntuti. Tapi kali ini ia tak sendiri, ada tiga orang mahasiswa lain yang juga membutuhkan tanda tangan dosen yang dikenal Killer itu.

    “Pak, saya mau minta tanda tangan.” Pinta mahasiswa yang satu tingkat di atas Qisty.
    Dengan permintaan simple, dosen itu langsung berhenti berjalan dan mengambil tempat duduk dikoridor kampus. Ia pun menanda tangani berkas yang diberikan.
“Saya juga pak.” Pinta Qisty sambil menyodorkan berkasnya.
Dosen yang berkacamata tebal itu memperhatikan Qisty dan membaca berkasnya dengan pandangan menyelidik.
“Kamu sudah tiga kali minta tanda tangan dengan saya dengan berkas yang sama. Kenapa di ulang-ulang? Yang kemaren salah lagi?” Tanya bapak itu. qisty tidak menyangka ternyata dosennya itu mengingat kejaidan dua minggu yang lalu.
“Ehem.. itu, Pak. Yang kemarin bapak sudah tanda tangani itu ternyata ada yang salah.” Jawab qisty sambil menunduk.
“Bah! Apanya lagi yang salah?” dengan aksen bataknya dosen itu bertanya.
“Tenyata penulisan nama dosennya tidak memakai huruf besar semua, Pak. Pak Anto yang menyuruh saya merubah.” Jelas Ratih. Dosen itu menceramahinya sebentar. Dan dalam 3 detik, dapatlah ia tanda tangan yang sudah 2 bulan ini diincarnya. Ia pun membuka berkas proposalnya, tinggal tiga buah tanda tangan lagi.
******
    Pagi ini qisty harus mengorbankan jadwal les privatnya. Terpaksa murid lesnya ia liburkan. Planingnya hari ini adalah bertemu bu Gusni, bukan di kampus tapi di rumahnya. Ibu itu sedang sakit, jadi qisty harus bertamu kerumahnya. Sehari yang lalu Qisty sudah membuat janji dengan dosen yang menjadi pengujinya juga ketika ujian proposal.

    Setelah beberapa kali salah alamat dan nyasar tak tentu arah. Berkat arahan dari temannya melalui telpon, akhirnya Qisty berhasil menemukan rumah dosennya itu. rumah tiga lantai dengan aksen barat. Jelas saja, dosennya itu menempuh pendidikan di Adelaide, Australia. Dan lama tinggal di sana. Mungkin rumahnya ini terinspirasi dari rumah di barat.

    Puas dengan tanda tangan yang didapatkannya hari ini. Qisty pun pulang dengan senyum merekah. Tinggal dua tanda tangan lagi, yakni tanda tangan ketua Prodi dan koordinator seminar. Kalau dosen yang berdua ini tak perlu dikhawatirkan, karena menjabat sebagai ketua, tentu saja Pak Rahmat ini stanby di kantornya. Tak perlu mengecek kedatangan dan jadwal masuknya.
    ******
    Qisty Berlari-lari kecil memasuki ruang dosen. Baru saja ia mendapat SMS dari Rani kalau Pak Dodi ada di kantornya hari ini. setelah kemaren bersusah payah membuntuti Pak Rahmat selama seminggu, akhirnya hari ini perjuangan Qisty mengumpulkan tanda tangan. Dan dan targetnya hari ini adalah pak Dodi. Ketua koordinator Seminar Proposal di kampusnya.

    Mendung sudah dari tadi bergelayut, tinggal menumpahkan airnya sederas air terjun tujuh tingkat di Kuansing. Qisty sudah sudah sampai di depan gerbang kampusnya setelah sempat jilbabnya tersangkut di Pintu angkot karena saking tergesa-gesa. Ia memeluk mapnya seolah itu emas seharga satu milyar. Tiba-tiba langit yang sudah sejak tadi ingin memuntahkan airnya sudah tidak tahan lagi menunggu Qisty sampai di pintu masuk gedung kampusnya. Hujan membasahi bumi, jalan, pepepohonan dan termasuk Qisty yang masih berusaha berlari. Selang beberapa detik kemudian ia sudah memasuki gedung kampus. Qisty mengibas-ngibaskan baju gamisnya yang terciprat air hujan. Dalam beberapa detik ia melupakan map nya. dan detik selanjutnya Qisty baru menyadari, kalau map yang di peluknya erat-erat telah basah ujungnya.

    “Apa-apaan ini?! kertasnya sudah kamu mandikan! Print lagi sana!” Hardikan itu yang diterima Qisty dari Pak Dodi di ruangannya. Padahal tadinya Qisty sudah benar-benar berdoa agar Tuhan memudahkan urusannya kali ini. namun Tuhan ingin menguji kesabaran Qisty untuk kesekian kalinya. Kali ini Qisty harus memulai perjuangannya meminta tanda tangan tujuh orang dosen dari awal. Air mata Qisty runtuh bersama tetesan hujan yang membasahi jilbabnya.
 
*Musim Hujan kota Bertuah, Oktober 2012



  Attention : DILARANG MENG COPY PASTE CERPEN INI TANPA SEIZIN PENULIS!

13 Maret 2012

Cerpen : "Menjemput Ayah"

3/13/2012 09:28:00 AM 34 Comments

Oleh : Risah Azzahra
Kamar itu berantakan, penuh barang. Tas besar masih kosong, calon penghuninya masih telentang berserakan di atas kasur. Di lantai pun masih ada lagi sepatu-sepatu dan peralatan mandi yang akan di bawa pemiliknya. Ruang seluas 3 x 4 meter itu bagaikan toko sedang cuci gudang, Oh, bukan. Persisnya lebih mirip kapal barang yang sedang bongkar muat. Sangat kacau.

Ibu si empunya kamar membuka pintu, dan terkejut melihat isi kamar anak sulungnya itu. Terkejut sekaligus terharu. Ia kira bincang-bincang mereka di ruang tamu kemarin hanyalah igauan anak lajangnya itu, ternyata tidak. Sulungnya itu akan benar-benar pergi. Pergi menjemput Ayah.

“Jadi Juga engkau berangkat malam ni, Jang?” tanya Emak Ujang sambil berusaha mengambil tempat untuk duduk di pinggir dipan.

“Jadi lah, Mak. Dah Ujang telpon abang travel tu tadi pagi. Tiket kapal pun dah Ujang beli ni.” Jawab Ujang dengan mata tetap terfokus ke lemarinya yang sudah mulai kosong.

“Tapi barang-barang engkau ni banyak betul lah, Jang. macam tak nak balik lagi” seru emaknya risau.
“Ye lah, Mak. Ujang nak siap-siap saja. kalau sehari belum jumpa, Ujang tambah disana dua hari lagi, tak juga jumpa, tambah tiga hari lagi, tak tentu lah, Mak. Mungkin bisa seminggu, sebulan.” Ujang masih sibuk melipat pakaian yang ia keluarkan dari lemari. “Ni dah lima bulan , Mak.  Kalau Ayah tak mau pulang, biar Ujang yang jemput Ayah untuk emak, Ujang tak sanggup lagi dengar Etek-Etek di kedai tu membicarakan emak, emak rindu juga kan sama Ayah?”

Emaknya menarik napas berat. Seberat beban yang dipikulnya selama lima bulan ini. suami yang entah kemana rimbanya. Tak ada kabar. Entah masih hidup atau mati, entah berbini baru, entah makan entah tidak. Sama sekali tak tau. Berkali-kali ia berdoa pada Allah dalam setiap tahajudnya, tapi Ayah dari tiga orang anaknya itu tak kunjung muncul di ambang pintu rumah mereka yang hampir rubuh.

Tak disangkanya Ujang anak sulung yang nakal bin bengal itu akan berpikiran menjemput Ayahnya. Entah jin dari mana yang merasuki pikiran anaknya yang beranjak dewasa itu. Sebelumnya ia telah benar-benar pasrah. Merelakan kepergian suaminya yang tanpa sebab. Toh sejak awal mereka menikah pun sang suami tak pernah benar-benar menafkahinya. Untunglah ia punya kantin di dalam kawasan sekolah yang berada tak jauh dari rumahnya. Dari situ lah asap dapur mereka dapat mengepul, dari situ ia dapat menyekolahkan ke tiga anaknya hingga kini si sulung mendapat gelar Sarjana. Masih ada dua orang buah hati lagi yang saat ini ia sekolahkan di pesantren. Syukur mereka berprestasi di sekolah dan mendapat beasiswa.

Selama ini suaminya itu memang tidak punya pekerjaan tetap, tapi semasa di rumah dia rajin betul beribadah, hari-hari ia di masjid. Sholat lima waktu tak pernah tinggal, itu pula yang menyebabkan nenek Ujang sayang betul sama menantunya itu. Emak Ujang pun dengan ihklas menafkahi keluarga. Kadang Ayah Ujang coba-coba bercocok tanam di kebun belakang rumah, dengan modal dari emak. Tapi jarang ada hasilnya. Selalu rugi. Coba pula Ayah Ujang berdagang. Lagi-lagi tak ada untung, bahkan modal pun tak balik. Ia pun pasrah, hanya duduk di rumah sambil membaca-baca buku-buku agama. Jika tiba waktu sholat, maka ia pun melangkah ke masjid. Begitulah keseharian Ayah Ujang. Kadang jika ia bosan di rumah, dengan alasan cari uang, ia akan pergi ke Tanjung Balai Karimun di Kepulauan Riau. Tempat ia lahir dan adik-adiknya tinggal. Ia tinggal menupang saja di situ, dan saat kembali ke Pekanbaru akan di bekali banyak uang oleh adiknya yang kaya raya. Mereka menggapnya balas budi terhadap abang. Tapi dalam lima bulan ini entah mengapa ia tak kunjung pulang.
*****

Ujang menyeka keringat yang membasahi baju kemejanya. Kepalanya masih pusing karena mabuk laut akibat di ombang ambing ombak di atas kapal selama 5 jam. Sudah berjam-jam ia berdiri mencari mobil tumpangan yang bisa membawanya ke kecamatan Meral, desa Pangke,  rumah Etek, Tempat Ayahnya menumpang. Eteknya termasuk jajaran orang kaya di kampung ini. sukses sebagai pedagang dengan toko pakaian dimana-mana. Ujang selalu tak habis pikir, mengapa kesuksesan adik Ayahnya itu tak sedikitpun menular kepada Ayahnya.

“Nak Kemane, Dik?” sapa seorang pria tambun yang memakai jas kulit usang, dari penampilannya jelas sekali ia berprofesi sebagai tukang ojek.

“Nak ke Pangke, Pak. Bisa ke antar saya kesana?” jawab Ujang sambil mengibas-ngibas kemejanya kepanasan. Mereka pun berdebat sebentar menegoisasi harga. Hingga akhirnya motor bebek itu bergerak melaju menuju desa Pangke.
*****

Sampai di tujuan, Ujang dipeluk erat Etek Imay. Langsung dituntunnya Ujang ke meja makan. Ujang pun tak dapat menolak hidangan. Tak henti-henti Eteknya berbasa-basi menanyakan kabar keluarga di Pekan. Ujang pun tak segan lagi makan, meskipun ia sedang heran. Kemana gerangan Ayah yang akan di bawanya pulang. batang hidungnya pun tak bertandang.

“Macam mana kuliah adik kau si Ilham tu, Jang? Dah semester berapa sekarang?” tanya Etek sambil menambah hidangan.

“Alhamdulillah dah semester 6. Sedang persiapan ujian proposalnya sekarang, Tek” jawab Ujang sambil tetap terus saja mengunyah hidangan yang ada.

“Hmph…” Etek menarik napas berat. “macam mana pula lah emak kau menyekolahkan kalian. Ayah engkau pun menganggur tak ada kerja disini, sakit-sakitan pula. tak nak balik-balik, sudah berulang kali Etek suruh balik ke Pekanbaru, tak dihiraukan. Jantung ayah kau itu ada sedikit masalah, tapi tak mau di ajak berobat. Ayah kau tu dah tua, harusnya hidup disamping istri dan anak-anaknya. Biarlah Etek kirim uang tiap bulan untuk uang sekolah kalian kakak beradik, tapi Ayah kau tu keras kepala. Mungkin dia kepalang malu sama emak kau yang dari dulu tak pernah dinafkahinya.” Jelas Etek sambil mengusap-usap bahu Ujang. Hampir saja Ujang tersedak mendengar penjelasan Eteknya. Mungkin Ayahnya merasa rendah diri dan minder di hadapan ibunya, sehingga tak berani lagi menampakkan muka di hadapan keluarga.

“Besar jasa Ayah kau tu terhadap Etek, Jang. Sejak kakek nenek kau meninggal, Ayah kau yang menghidupi kami berlima kakak beradik, saat itu Ayah kau masih SMP, dan Etek masih SD. Sejak saaat itu Ayah kau berhenti sekolah dan berkerja mati-matian menyekolahkan adik-adiknya. Subuh-subuh Ayah kau dah ke kebun menakik getah. Sampai akhirnya semua adik-adiknya sarjana. Kini tibalah saatnya kami adik-adiknya ini membalas budi. Saat Ayah engkau tak ada penghasilan macam sekarang ni. Mungkin dia sudah penat betul, tenaganya pun sudah habis  termakan usia.” Kelihatannya Etek mencoba membela abangnya.

“Assalamualaikum” tiba-tiba terdengar suara baritone dari depan. Suara yang sangat dikenal Ujang. Suara yang selama ini dirindukan emak dan kedua adiknya. Mata mereka bertemu, mata ayah dan anak yang dirundung rindu. Belum sempat Ujang menjawab salam, mata ayahnya melotot bagai ketakutan. Detik selanjutnya, tubuh ringkih itu jatuh menyelosor di lantai keramik rumah etek.

Bruk!
Eteknya panik dan teriak-teriak minta tolong. Ujang masih terpaku, bukan karena ia begitu merindukan Ayahnya hingga tak lagi bisa berkata, bukan pula karena kekenyangan sesudah menyantap hidangan lezat dari Eteknya. Bukan karena ia benci ayanya yang tak pulang lima bulan, tapi karena nadi orang yang membuatnya lahir kedunia ini, sudah tak berdenyut lagi. (di Muat di Riau Pos edisi Minggu  4 Maret 2012)

*di posting berdasarkan permintaan dari cerita sebelumnya dan yang udah baca wajib kasih kripiknya!  kripik pedas boleh. apalagi kripik manis.. ^_^

26 Juni 2011

Aku Yang Terbuang

6/26/2011 02:38:00 PM 2 Comments
Hari ini semua penghuni rumah bahagia menyambut kedatangannya. Si cantik yang lucu. Semua menyukainya. Bahkan Mama memanggilnya “anakku”. Betapa bahagianya dia, baru satu hari kedatangannya dirumah mewah ini, tapi perhatian semua tertuju padanya. Ia dibelikan baju-baju cantik, diberi makan mewah yang harganya bisa ditukar dengan sebuah sepeda si kecil Yoyo. Bahkan ia juga diberi tempat buang hajat, terbuat dari batuan asli dari sungai yang berisikan pasir lembut pilihan. Hidupnya kini sempurna bagai putri.



Belum lagi kamarnya yang sengaja disiapkan oleh Mama. Letaknya dibawah tangga. Gordennya berwarna pink manis, alas tidurnya kain sutra yang lembut. Mama sengaja seharian mengelilingi mall untuk mencari box tempat tidur yang sesuai ukurannya. Mama benar-benar ingin membuatnya nyaman.



Sejak acara ulangtahun Mama tadi malam ia hadir dirumah ini. Mama memberinya nama dayma yang berarti hadiah Birthday Mama. Kadang Mama sering memplesetkan namanya dengan diamond. Ah begitu berharganya ia bagi Mama. Kata Mama dia adalah hadiah dari salah satu mantan pacarnya waktu SMA. Ya ampun Mama.



Sedangkan aku? Aku siapa? Aku hanyalah kucing kampung yang kurus, keriput dan tua. Lengkap dengan bulu-bulu yang tidak halus. Dari dulu aku tinggal di rumah ini, sebenarnya hanya aku saja yang mengaggap begitu, karena Mama sangat benci padaku. Tapi yang membuatku betah adalah si kecil Yoyo yang diam-diam selalu memberiku makan. Yoyo si kecil anak kelas II SD itu sayang sekali padaku, mungkin karena dia anak bungsu. Setiap ia pulang sekolah aku menyambutnya di depan pintu



Sebenarnya waktu datang kesini aku dalam keadaan sakit, tulang punggungku ditendang preman pasar. Di malam yang dingin aku merintih kesakitan sambil menyusuri jalan, dan sampailah aku di depan gerbang rumah mewah ini. Hujan turun lebat aku masih bertahan disini, di bawah pot bunga besar. Keesokan paginya, barulah Yoyo menemukanku, ia memelukku hangat dan memberiku makanan yang sudah lama ku idamkan, ikan bakar. Hm.. yummy…



Sejak itulah aku enggan pergi dari rumah ini, walaupun kerap Mama menendangku jika ketahuan aku berada di bawah meja makan, walaupun perutku merasakan sakit yang luar biasa karena dipukul dengan sapu, walaupun kepalaku sering pusing karena Mama memukulku dengan tongkat bisbol, walaupun sering aku harus berjalan pincang, tapi aku tetap disini. Aku mencintai rumah ini. Menemani Yoyo yang sering kesepian.

*****



“Dayma… diamond ku sayang… pus.. ck..ck..ck..” Mama memanggil si dayma yang pemalas itu. Hari-hari kerjaannya hanya berbaring didepan TV. Dikursi berukuran khusus yang disediakan untuknya.



“Yoyo… mana anak Mama satu lagi?” tanyanya pada Yoyo yang sedang asik bermain yoyo.

“Siapa ma?” Yoyo balik bertanya heran.



“Aduh, siapa lagi, ayo cepat bantu cari!” kata Mama sambil membawa keranjang tidur dayma yang kosong.



Huh, kemana lagi ia hari ini? Oh! Aku tau! Pasti ia ke rumah tetangga sebelah yang punya kucing Persia jantan. Huh! Genit sekali! Belum tau aja, Persia itu adalah mantanku! Seenaknya ia menghamiliku dan pergi begitu saja! Tak bertanggung jawab! Kini si dayma malah selalu mendekat kesana. Dasar ganjen!



Ku lihat Mama memasuki rumah kucing Persia itu, dan benar saja, Dayma yang genit ada disitu, kini ia pulang dalam gendongan Mama. Dayma sempat melirik sinis padaku. Bangga sekali dia bisa berhubungan dengan kucing jantan itu. Uh! Lihat saja nanti, Persia playboy menghianatimu. Aku yang pertama kali tertawa melihatmu menderita.



“Ck..ck..ck.. pus…” Yoyo memanggilku. Aku berlari mencari sumber suaranya. Ternyata ia sedang makan siang, aku mengelus-ngelus kakinya dari bawah meja. Ia menunduk dan memberikanku ikan sisa makanannya. Biarpun sisa aku tetap menikmatinya, lagipula ini bukan hanya tulang, masih tersisa daging disana. Aku menyantapnya lahap.



“Yoyo.. Yoyo…main yuk..” terdengar suara teman-teman yoyo memanggil di depan. Biasanya aku akan mengikutinya, tapi kali ini makananku belum habis, dan aku masih sangat lapar.



Yoyo bangkit dari kursinya, mengambil topi yang digantung dan melangkah ke luar. Menyambut teman-temannya. Mereka pergi dengan sepeda, aku masih saja mencoba mengunyah tulang-tulang ini agar bisa masuk ke tenggorokanku.



Tiba-tiba aku tersedak, aku tulang itu tersangkut di tenggorokanku. Sakit sekali. Aku berusaha mengeluarkannya, suaraku seperti mendengkur. Aku berlari-lari mengelilingi dapur, panik. Bagaimana cara mengeluarkannya. Aku melompat-lompat kesakitan. Ku coba menengadahkan kepalaku tetap saja tulang sial ini melekat di dinding tenggorokanku. aku coba memuntahkannya.



“Khork.. Urgh… Huekk…!!!” akhirnya tulang itu keluar, dan tentu saja seluruh makanan yang tadi kulahap juga keluar, sia-sia aku mengunyahnya dengan susah payah, kini kepalaku terasa berputar.



“Dasar kucing sial..!! beraninya muntah disini!” Mama yang baru saja datang melihat hasil kerja keras ku terpampang di lantai dapur. Aku meringkuk di bawah meja ketakutan.



“Awas kau kucing kampung! Hush..hush..” Mama menyodokku dengan sapu. Aku tetap tak bergeming, takut dipukul.

“E..e..e.. malah diam aja disitu!”

Mama menusukkan sapunya ke arah perutku yang kosong. Aku mulai ambil ancang-ancang utnuk berlari, menghindari Mama yang siap menghajarku.



Ketika mama menundukkan kepalanya ke bawah meja, aku sudah berlari keluar kearah pintu belakang. Tapi, ah! Terkunci. Mama sudah berdiri di belakangku.



“Plak..Plak… bug..”



Sapu itu mengenai kakiku, aku berjalan pincang kesakitan, ingin sekali berlari, tapi sapu itu tepat sekali mengenai tulang keringku. Mama memukulku tanpa ampun. Aku masih sempat berpikir, seandainya Yoyo di rumah, tak kan dibiarkannya aku disiksa begini.



Setelah puas menghajarku Mengangkatku ke lantai 2 dan mencampakkanku dari atas, aku jatuh se semak belukar dibelakang rumah dengan badan remuk. Mama kembali ke dapur dengan sumpah serapah berterbangan dari mulutku, entah untuk siapa, yang jelas aku tak bisa lagi berdiri, kepalaku rasanya ingin pecah, karena sapu itu tadi juga sempat mendarat dikepalaku. Aku tergolek lemas.



“Meong…meong..” si centil Dayma duduk di pelataran lantai 2. Menatapku iba. Uh, aku tak butuh kasihan darimu. Karena kau lah aku jadi begini. Semenjak kedatanganmu aku diacuhkan Mama. Aku memang hanyalah seekor kucing kampung yang tak layak tinggal dirumah ini. Selamat tinggak yoyo, selamat tinggal semua. Aku akan kembali ke jalanan. Menyusuri pertokoan, mencari makan di tong sampah dan tempat pembuangan. Karena inilah aku, kucing kampung yang terbuang.



*cerita ini di ikutkan iven animal buse untuk Fitri (DL nya udah lewat, jangan ditanya)

dimaksudkan supaya jangan ada lagi kucing yang disiksa, karena kita sama-sama makhluk tuhan.

20 Mei 2011

RUSTAM (Cerpen yang ku tulis 2 tahun lalu)

5/20/2011 09:25:00 AM 0 Comments
Rara baru saja pulang sekolah, kakinya dengan malas menapaki tangga menuju asramanya satu persatu. Siang-siang begini naik ke lantai II asramanya adalah suatu cobaan. Kamarnya di lantai 2. Lotengnya sangat dekat dengan kepala. Hanya berjarak sekitar 50 cm dari ubun-ubunnya. Bahkan pintu masukpun harus menundukkan kepala sedikit kalau tidak ingin kening benjol.



Dengan tergesa-gesa Rara mencari kunci lemari di dalam tasnya, lalu membuka lemari dan mengambil sebotol air mineral yang biasa disimpannya. Ia menegak tanpa bernafas, terdengar bunyi tegukan yang keras dari tenggorokanya.



“Eugh.. Alhamdulillah” Kak Vina dan Kak Zura kemana ya?” tanyanya dalam hati. Sepatu dan tas teman satu kamarnya itu tergeletak begitu saja di depan pintu. Hal itu biasa terjadi. Siang bolong panas terik seperti ini tidak akan ada yang sanggup berlama-lama di kamar yang berukuran 3 x 4 meter ini.



Rara pun cepat-cepat mengganti baju, dan menyempatkan diri untuk membereskan kamar yang berantakan. Ia mulai menyapu. Ketika tiba-tiba Handphone nya bergetar di dalam tas sekolahnya. Dilayar terbaca “Satu Pesan diterima”



Sender : Mama Qu Thayank



Rara sayang, mama nggak sempat jenguk, kamu aja ya yang pulang jemput uang bulanannya. Ongkosnya pakai uang tabunganmu dulu. Bye sayang. Rajin belajar



“Ugh sebel deh! Kapan sih Mama sempet jenguk aku disini. Lagian mana ada ongkosku pulang ke Pekanbaru. Uangku sedah ludes untuk praktikum biologi kemarin. Hm… pinjam Kak Vina mungkin ada.”



Rara kembali melanjutkan acara bersih-bersih singkatnya, dalam arti, menyapu yang Nampak-nampak saja. Karena panas yang tak tertahankan



*****

Rara memang sengaja “dibuang” Mamanya ke asrama. Setelah kepindahannya dari Jakarta, Mama dan Papanya pusing 7 keliling mencarikan sekolah untuk anak mereka yang hyper aktiv ini. Rara terlalu lincah untuk anak seumurnya. Untuk itu kedua orangtuanya khawatir kalau perempuan mereka yang manis sekolah di SMU biasa. Selain karena Rara yang agak bandel, dan terlalu aktif (aktif melanggar hukuman), sekolah-sekolah umum juga sudah tutup pendaftarannya. Karena keterlambatannya menghabiskan liburan di Jakarta. Jadilah Rara pasrah diantarkan ke sekolah swasta berasrama yang berada jauh di luar kota.



Jauh bagi orang lain, tapi tidak bagi Rara. Seminggu setelah menjadi anak baru di sekolah berasrama itu, Rara sudah berani pulang sendiri. Padahal ini lah pertama kali Rara mengunjungi kota ini dihidupnya. Dengan sifat ke SKSD-an nya. Ia bertanya sana-sini kepada kakak kelas, mobil apa yang harus ia tumpangi. Turun dimana, kemudian naik mobil apalagi. Alhasil, Mamanya yang kaget ketika anak manisnya sudah sampai dirumah dengan sedikit nyasar hanya bisa menggelengkan kepala.



Mamanya sudah mewanti-wanti agar anak manisnya jangan sering pulang, karena akan banyak ketinggalan pelajaran disekolahnya. Tapi bukan Rara namanya kalau tidak membangkang, ia tetap saja nongol di rumah tiap minggunya. Baginya sungguh sesuatu yang mengasyikkan naik travel, disambung naik angkot yang musiknya membuat jantung loncat keluar, di sambung lagi dengan bus kota yang walaupun penumpangnya selalu penuh, sehingga ia harus berdiri, bau berbagai macam parfum yang dicampur keringat, sampai tukang ngamen yang suaranya fals ada disitu, bagi Rara itu semua hiburan. Tentu saja, setelah seminggu menguras otak di sekolah.



Tapi minggu ini ia sudah janji tidak pulang, Mamanya lah yang akan mengantarkan uang dan keperluannya selama sebulan ke asrama. Selain itu uangnya pun sudah habis, bahakan untuk beli mie goring nanti malam.



Lama Rara merenung, tiba-tiba pintu terbuka paksa, tampak Kak Vina datang sambil sibuk mengipas-ngipas mulutnya dengan tangan.



“Hu..ha..hu..ha. pedes banget!” matanya berkedip-kedip menahan pedas.



“Ra, bagi minum dong,” tangannya mulai membuka lemari Rara mencari sebotol air.



“Huw…! Pedesnya doang bawa ke kamar!” sungut Rara.



“Ini aja tadi diajakin makan sama Putri di bawah, dia kan abis dijenguk ibunya”



“Oh…” gumam Rara. Sapu sudah ia letakkan kembali ketempatnya. Ia beranjak mengambil jilbab mininya untuk segera ke kantin langganannya di belakang asrama. Perutnya sedari tadi sudah berdemo dengan tak lupa memasang spanduk “Kami Lapar”.



“Kak aku mau ke kantin dulu ya, mau titip?’ tawarnya



“Hm, kakak ikut deh.” Vina pun kembali memakai jilbabnya dan mencari sandal jepitnya. Hawa siang ini benar-benar menusuk pori, ia ingin menghirup cendol kantin secepatnya.



Sambil berjalan ke kantin, Rara teringat pada teman sekamarnya.



“Kak, Kak Zura dan Esy mana ya?”



“Zura tadi katanya ada les komputer, kalau Esy, pulang sekolah tadi langsung kepasar. Katanya Rohis ada acara rujak Party.” Jelas Vina.



Di kamar berukuran 3 x 4 meter itu dihuni lima orang. Ketua asrama sengaja mencampur adukkan anak MTs dan Aliah dalam satu asrama, jadilah kolaborasi di dalam satu kamar. Ada esy yang paling bontot kelas III MTs, Rara kelas I Aliah, azura kelas II Aliah sedangkan tertua Vina dan Alfi sebagai penanggung jawab kamar. Mereka sudah seperti keluarga. Contohnya jika ada yang sedang kehabisan uang, yang lain bersedia ngutangin, atau kalau ada yang lagi punya rejeki dapat kiriman makanan dari rumah, yang lain bersedia ngabisin. Seperti sekarang, Rara berniat ngutang pada Vina.



“Kak, minggu ini aku mau pulang, tapi nggak ada uang. Kakak ada uang simpanan? Pinjem dulu boleh nggak?” Rara menampilkan muka melasnya.



“Ya ampun, kakak juga lagi nggak ada uang, tadi pagi ada tugas makalah,” jawab Vina menyesal.



“Yah.. gimana dong. Kak Zura ada nggak ya?”



“Justru Zura juga lagi bingung juga, soalnya tantenya dari kampung ada yang melahirkan di RSUD Pekanbaru, semua keluarga dari kampung udah pada ngumpul disana, tapi Zura juga lagi kanker katanya.”



“Hm… kalau gitu aku pinjem ke teman lain aja deh.”



Tiba-tiba Handphone Rara berbunyi, sebuah nomor baru muncul di layar HP nya. Tapi ketika ia angkat penelpon langsung mematikan, terus begitu hingga 4 kali.



“Siapa sih iseng banget? Siang bolong Cuma miscall. Cumi!” sungut Rara sambil meniup Mie instan yang panas.

HP nya berbunyi lagi, tapi kali ini sms yang diterimanya.



Sender : 0812768xxxxxx



Hai Rara.. what are u doing?



“Ih, siapa nih? Pakai bahasa inggris segala?” tapi jari-jari Rara pun mulai menekan tuts HP nya.



To : 0812768xxxxxx



I’m eating. Who’re u?



Sms pun terkirim, Rara melanjutkan makannya dengan sendok di tangan kanan, dan HP di tangan kiri. Tak lama HP nya berbunyi lagi



Sender : 0812768xxxxxx

May I know u? I’m Rustam

I Like u’re song



Kening Rara berkerut, dan dan membalas lagi, jari-jarinya bergerak lincah di Keypad HPnya. Maka meluncurlah sms-sms berbahasa inggris dengan tenses kacau. Rara senang karena kali ini kenalannya berbahasa inggris. Lumayan untuk mengamalkan ilmu kursusnya.



Dari sms-sms ini diketahuinya, cowok itu mendapatkan nomor nya dari Esy yang katanya tetangganya. Ia tertarik karena Rara memakai lagu Crush nya David Archuleta. Rustam juga mengaku sudah melihat foto Rara yang katanya dipajang di ruang tamu rumah Esy. Rara manis, pujinya. Terang saja Rara melambung kelangit. Ternyata ada cowok yang diam-diam mengaguminya. Apalagi tidak lama setelah itu si Rustam mengiriminya pulsa senilai 50 ribu. Bagi Rara itu jumlah yang sangat besar, karena ia biasanya hanya mengisi ulang pulsanya senilai Rp.5000.



Bukan main senangnya Rara, masalah pulang dan tidak ada uang sejenak terlupakan. Kini ia terlibat obrolan seru di HP nya.



Vina hanya bisa geleng-geleng kepala. Ini bukan yang pertama kalinya Rara kenalan di HP. Sudah biasa mendengar ia ribut di telpon.



*****

Setelah mandi sore, Rara duduk di depan kamarnya, rasanya tak sabar menunggu Esy pulang. Akan diberondonginya dengan beribu pertanyaan.



“Duh Esy, kamu kok nggak cerita kalau ada tetanggamu yang naksir aku” Rara berkata sambil tersenyum. Bunga-bunga berterbangan di kepala Rara, ia berkhayal sebentar lagi status jomblo yang di idapnya seumur hidup ini akan minggat dari dirinya. Dan aka ada pangeran baik hati yang datang menjemputnya dengan kuda bersayap yang bisa menyanyikan lagu crish brown kesukaannya.



I need you boo

I gotta see you boo

And the hearts all over the world tonight

And the hearts all over the world tonight

I need you boo, I gotta see you boo…





“Aduh ngayal kemana-mana deh, mana ada kuda bisa nyanyi. Bahasa inggris pula. Hahaha… dasar Rara tukang ngayal!” serunya dalam hati.



Sedang asyik-syiknya menertawakan diri sendiri, terdengar suara sayup-sayup di bawah teras kamarnya.



“Kak Rara yang manis, tolong dong lemparin jlprbpbbrbb…” suara itu tak begitu jelas. Rara melongokkan kepala ke bawah. Rupanya Esy yang dari tadi di tunggunya ada dibawah, minta dilemparkan jilbabnya. Tangannya bertabur busa, Mingkin malas kalau harus naik menyusuri tangga.



“Esy, abis itu langsung naik ya! Ada yang mau kakak tanya nih”

“Iya, bentar lagi ya?” jawab Esy sambil berlalu.



Sementara itu Rara terus saja terus berbalas-balas sms dengan cowok yang baru saja dikenalnya. Ia jadi ingat, namanya Rustam. “Hah? Rustam? Jadi inget julukan teman sekelasku, hihihi.”



Di kelasnya Rara memang punya teman cowok yang giginya boneng di depan aduh sob, maafin aku ya. Namanya yang bagus berganti menjadi nama panjang yang diberikan teman-temannya, tanpa potong kambing tentunya. RUSTAMKARGI (Rusak Tampang Karena Gigi), begitulah teman-teman memanggilnya.



“Jangan-jangan Giginya emang boneng kaya si Prima lagi. Hihihi..” Rara mulai menebak-nebak seperti apa kenalannya kali ini. Dulu juga Rara pernah iseng-iseng miscall orang, eh ternyata ketemu bule Australia! Waktu ketemu ngeliat kulitnya ampe rambutnya yang serba kuning, terang aja dia langsung kabur. Si bule terus aja mengejar, sampai akhirnya Rara ganti nomor dan lost kontak. Dasar Rara Iseng!



“Kak Rara jelek…!” serbu Esy yang baru datang tiba-tiba menubruk punggung Rara.



“Ih! Kamu ngagetin aja! Eh kakak mau Tanya nih, sejak kapan kamu kenalin kakak sama tetanggamu itu? Sekolah dimana dia? Kelas berapa? Kok nggak bilang-bilang kamu pajang foto kakak di rumah kamu?” Rara memberondong Esy dengan pertanyaan.



“Tungu..tunggu.. emangnya siapa sih sih kak?” Esy malah balik bertanya.

“Rustam”

“Hah Rustam? Oh ya ampun.. dia nelpon kakak? Hahaha…” Esy tertawa lebar sambil memegangi perutnya. Rara semakin heran dan tentunya penasaran.



“Ih… kamu jangan bikin penasaran dong! Emang Rustam itu siapa? Ayo cepat cerita!” Rara memaksa.

“Iya..iya.. gini loh.. Rustam itu emang tetangga aku, dia baru pulang dari Malaysia….”

“Berarti udah kerja?” potong Rara penasaran.

“Ih.. sabar dong kak. Iya, dia pulang kemarin mampir di warungku, dia dengar NSP kakak waktu aku miscall, terus pinjem HP ku, terus ngambil no kakak deh.” Jelas Esy panjang lebar.



“Terus, foto itu?”

“Ya elah.. percaya aja lagi! Mana ada foto kakak aku pajang di rumah. Ada juga aku pajang di dapur, buat nakutin tikus! Haha..”



“Lho? jadi dia bohong? Wah aku di kerjain! Awas tuh orang!” umpat Rara dalam hati.



“Des, ngomong-ngomong orangnya cakep nggak?” Tanya Rara lagi sambil tersenyum.



“Tau ah! Aku mau mandi dulu! Cape de ngurusin Rustam.” Esy pun mengambil peralatan mandinya dan meninggalkan Rara yang bingung sendiri.



*****

Kata orang masa remaja itu masa-masa yang indah, penuh warna dan corak. Begitu juga yang dirasakan Rara kali ini. Baginya masa remajanya penuh lika-liku, tapi lika-liku yang menyenangkan. Karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan orang yang sudah beberapa hari ini rutin menelponnya. Siapa lagi kalau bukan Rustam.



“Oke, kalau gitu aku tunggu di kualu ya, apa? Simpang nenas? Oh ya..ya.. oh, mungkin aku bawa 2 orang temen, boleh kan? Oke, sampai ketemu nanti ya.” Rara asyik bicara di telpon, Vina dan Zura tak sabar menunggu hasilnya, karena mereka berniat menumpang dengan Rara, yang katanya akan di jemput Rustam. Dan tentu saja dia pakai mobil.



“Apa katanya Ra? Kami bisa nebeng nggak?” Tanya Azura yang sejak tadi bingung meliat tingkah Rara yang seakan-akan menjadi Ratu cuek sedunia.



“Semua Beres” jawabnya dengan gaya sok.



“Beres gimana? Dia dimana? Orangnya aja kita nggak kenal, mana Esy udah pulang duluan lagi.’ Sahut Vina yang juga akan ikut ke Pekanbaru, menjenguk tantenya Zura yang melahirkan.



“Katanya dia pake Audy warna merah, nunggu kita di simpang nenas, aku tau kok! Itu kan daerah rumah Esy, terus nanti kita liat aja cowok pakai baju hitam” Jelas Rara.



“Oh.. pangeranku… I am coming.. audy.. pantatku sudah tak sabar ingin duduk di kursimu yang empuk!” Rara mulai berkhayal lagi.



“Hey!” Vina menepuk jidat jenong Rara yang langsung terdiam.



“Kamu tuh, belum ketemu orangnya udah menghayal kemana-mana. Terus nasib kami gimana? Bakal di anterin sampe rumah sakit nggak?”



“Aduh, sakit tau! Iya…iya, kalian bakal di anterin dulu ke rumah sakit, setelah itu baru deh aku sama Rustam itu jalan-jalan.” Terang Rara bangga. Baru kali ini aku ketemu cowok kaya, dari Malaysia, pakai Audy lagi! Oh… sebentar lagi aku akan duduk disampingnya dan…”



“Hey!” Vina lagi-lagi membuat Rara terkejut.



“Jadi nanti kamu mau ngedate gitu sama dia? baru ketemu udah kecentilan! Ingat! Jangan mau di apa-apain ya! Apalagi ke tempat-tempat sepi!” Zura menasehati adik sekamarnya yang bandel.



“Iya..iya.. rebes bos..!” Rara menunjuk keningnya layaknya hormat pada bendera.



Mereka lalu bergegas berangkat dan minta izin kepada ketua asrama, untuk pulang 2 hari. Ternyata di Rumah Pak Kohar, Pembina asrama yang terkenal galak tapi perhatian itu sudah diramaikan dengan anak-anak yang juga mau minta izin pulang, termasuk Putri, gadis cantik, putih, dan mungil teman sekelas Vina.



“Kamu mau ke Pekanbaru juga ya Put?” sapa Vina ketika dilihatnya Putri juga mau minta izin.



“Iya, tapi aku sendirian, kamu mau izin kemana Vin? Rumahmu kan jauh, nggak mungkin kan pulang 2 hari” Tanya Putri.



“Oh, aku nggak pulang ke rumah kok.” Jawab Vina yang memang berasal dari pelosok rokan hilir sana, kalau pulang memakan waktu 9 jam, jadi dia tidak pulang kampung kalau hanya libur 1 sampai 2 hari.



“Aku mau ke Pekanbaru.”

“ke Pekanbaru? Ngapain? Bareng aja yuk,” ajak putri.

“Jenguk Bibinya Zura, melahirkan di RSUD, tapi kami bertiga kok, nebeng mobil kenalannya Rara.”



“Kenalannya Rara? Kalau gitu aku ikut nebeng juga dong,” harap putri, pikirnya dari pada naik travel tentu dapat menghemat uangnya.



“Hm.. mungkin bisa, tapi coba aku tanya Rara dulu.”



Vina pun memeberi instruksi pada Rara (kalah Upacara) untuk menghubungi Rustam lagi. Setelah berbicara ditelpon sebentar, Rara memberi keputusan.



“Kak Putri bisa ikut mobil kita” katanya serasa punya mobil sendiri.



“Wah, bagus banget kalo gitu, kita nunggu dimana nih?” seru Putri gembira.



*****

Di bangkinang ada alat transportasi unik yang jarang terdapat di kota-kota lainnya, Becak Honda. Becak ini bukan seperti becak yang ada di Jakarta atau kota-kota lainnya yang dikayuh dengan sepeda. Tapi becak ini dijalankan dengan sepeda motor. Dan biasanya sepeda motor yang sudah tua, sehingga menimbulkan bunyi yang tentunya tak sedap di telinga. Becak ini bisa dinaiki 2 orang, tapi bagi anak-anak sekolah yang ingin hemat, 1 becak bisa diisi 3 sampai 5 orang. Terserah duduknya seperti apa, yang penting sampai tujuan dengan selamat.



Pertama kali tiba dikota yang katanya serambi Mekkah ini, Rara senang sekali naik becak, apalagi bertiga dengan temannya, maka ia akan selalu memilih duduk disandaran kursi, bukan dikursinya. Serasa naik mobil BMW yang terbuka itu loh! Seperti sekarang, mereka naik becak untuk sampai ke bundaran kota, dimana banyak mobil-mobil menuju Pekanbaru mencari (tepatnya memaksa) penumpang.



Setelah membayar ongkos mereka langsung di kerumuni para supir dan keneknya yang menawarkan ke Pekanbaru. Tas mereka di tarik oleh kenek yang takut kehilangan penumpang. Dengan gemas Rara berteriak.



“Kami bukan ke Pekanbaru! Kami Cuma mau ke Kualu!” tegasnya. Kualu terletak sebelum Pekanbaru, jaraknya sekitar 20 menit perjalanan dari bangkinang.



Mereka pun akhirnya naik mobil yang sudah penuh, dan kebagian duduk dibelakang dengan barang-barang yang penuh dan bau. Kontan ke empat cewek itu menutup hidung.



“Bang, simpang mesjid Kualu ya!”



Mobilpun menjauh meninggalkan kota bangkinang, rumah-rumah ditepi jalan bagaikan berlari. Tak lama mobilpun berhenti. Empat orang gadis manis turun dari mobil, mereka celingak-celinguk kanan-kiri.



Di pinggir jalan lintas Pekanbaru – sumbar itu, ada home industry yang memproduksi kerupuk nenas. Kualu memang terkenal dengan nenasnya. Nenas disini di olah menjadi kerupuk yang lezat, lalu dikemas dalam kotak-kotak yang unik, sehingga harganya jadi mahal. Di depan toko yang menjual bermacam-macam oleh-oleh khas Riau itu, terparkir sebuah sedan sejenis Audy berwarna Merah Marun.



“Jangan-jangan itu mobilnya” kata Rara yang sejak tadi bingung mencari dimana gerangan pemilik mobil itu.

Terdengar lagu single ladiesnya beyonce, nada dering dari HP Rara. Ia cepat-cepat merogoh tasnya.



‘Halo.. iya.. udah nyampe nih, kamu dimana..? Apa…? Oh okeh kami kesana ya?” Rara langsung mematikan HPnya dan kembali menyimpannya dalam tas. Lalu mulai berjalan menghampiri toko yang di depan mata.



Vina, Zura dan Putri yang dari tadi Cuma bisa bengong, berjalan mengikuti langkah Rara. Putri dari tadi sibuk memencet-mencet tombol HP nya. Entah sibuk ber sms ria dengan siapa.



Ketika hampir mendekati toko itu, sifat kekanak-kanakan Rara muncul, ia memegang lengan Vina kuat-kuat dan berjalan di balik punggungnya. Ia merasa akan maju ke podium untuk menyampaikan pidato. Jantungnya sudah melompat-lompat ingin keluar. Karena Rara mundur, Zura yang berjalan di depan pun ikut mundur, tinggal Putri yang berjalan di depan, ia pun mundur, dan terjadilah aksi dorong mendorong.



“Ehem..ehem.. pasti ini yang namanya Rara” tiba-tiba saja seorang lelaki yang kira-kira pantas di panggil ayah muncul dari dalam toko dan mengajak Putri yang dari tadi sibuk ber sms ria untuk bersalaman. Kontan putri kaget dan berpaling melirik Rara yang ada di belakang punggung Vina. Rara dengan tatapan mengancam seolah dari matanya mengatakan “Bilang aja IYA”. Namun, belum sempat putri menjawab, si bapak tua itu langsung saja memegang tangannya, dan menggiring Putri ke mobil. Wajah Putri sudah sangat pucat, sampai ia tak bisa buka mulut. Sedangkan Vina, Zura dan Rara masih berdiri mematung di tempat semula.



“Lho? teman-temannya ayo naik aja langsung, nanti kita bisa kesorean sampai Pekanbaru.” Kata bapak itu sok akrab.

Rara, Vina dan Zura segera mendekati mobil, dan bapak itu membukakan pintu untuk mereka. Di dalam sudah ada seorang cowok di belakang stir. Rara menaksir pria itu berumur 25 tahunan, ia segera berdoa, bahwa itulah Rustam. Ketika Rara duduk di mobil mewah itu, betapa kagetnya ia ternyata disampingnya ada teman satu sekolahnya. Liana, cewek cantik ini mengenakan blus biru yang sangat feminim dan jelana jins. Beribu pertanyaan langsung bersarang di benak Rara, Liana yang sepertinya bisa membaca pikiran Rara langsung berkata “Dia itu pamanku” jelasnya singkat.

“Hah? Rustam itu? Tanya Rara masih tidak percaya. Tapi Liana hanya tersenyum dan kembali asik dengan I-Pod nya.

Sedangkan Putri serasa berada di kutub utara, tangannya dingin dan mukanya pucat. Tiada di sangka, Rustam langsung menuduh dia adalah Rara. “Tau begini tadi aku nggak bakal ikut!” batinnya.



Vina dan Zura duduk dikursi paling belakang. Bapak yang tadi menyalami Putri masuk dan duduk di samping supir, ia mengarahkan kaca spion depan ke muka…Putri.



“Udah siapkan? Ayo berangkat” katanya penuh wibawa.



Sudah separo perjalanan, tapi mereka hanya saling diam, rasanya Rara ingin tertawa terbahak-bahak melihat putri yang pucat dan diam ditempat, sedangkan si bapak selalu mencuri-curi pandang lewat lewat kaca sipon di depan. Sampai akhirnya Rara tak tahan untuk tidak buka mulut.



“Hm.. sebenanrnya yang mana sih yang namanya Rustam Pak? Rara masih berharap supir itulah Rustam. Yang lain menunggu jawaban.



“Ya yang ini, siapa lagi, saya sih Cuma supir” kata pria yang berada di belakang stir sambil menepuk bahu bapak tadi. Rara langsung membelalakkan matanya kearah Vina dan Zura. Mereka menggembungkan pipi menahan ketawa.



“Oh, rupanya ini pangeranmu Ra” Bisik Vina.



“Tapi tak apalah yang penting bisa sampai ke RS gratis.hihihi…” sahut Zura juga dengan berbisik.



“Biarin aja, kan Kak Putri yang jadi Rara, bukan aku! Hihihi..” mereka tertawa cekikikan di belakang. Puti membelalakkan matanya tanda tak setuju. Liana yang mendengar mereka berbisik-bisik bersikap tak acuh.



Mobil terus melaju, sampailah di Arengka, dimana seharusnya putri berhenti. Tapi ketika Putri menyampaikan keinginannya ke supir bahwa ia turun disitu, si Rustam langsung menyela.



“kita antar teman-teman kamu ke RS dulu yah, nanti baru antar pulang”



Zura, Vina dan Rara bersorak kegirangan dalam hati, tak peduli muka merananya Putri yang tak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi nampaknya Putri masih belum rela dijadikan barang pengganti Rara.



“Hm.. pak Rustam” panggilnya takut-takut.



“Panggil saja Abang” sahut Rustam.



Rara, Vina dan Zura kontan saja serentak menutup mulut mereka, agar tidak kelepasan tertawa.



‘Sebenarnya Rara…”



“Oh, saya tau,” kata Rustam memotong. “Rara mau jalan-jalan dulu? Gampang, setelah dari RS kita ke Mall, karena Lian juga akan saya antarkan lewat situ” jelas Rustam.



Putri langsung mengkeret, Liana menatapnya dengan senyum penuh makna. Rara, Vina dan Zura lagi-lagi harus menutup mulut mereka menahan tawa. Ketika mereka sudah sampai di RS, Rara sempat berbisik di telinga Putri.



“Kak, terusin aja ya, please banget! Nanti ada apa-apa sms aku ya!” kata Rara sambil turun dari mobil, ia mengikuti Zura dan Vina melangkah kedalam RS.



Putri tetap di mobil dengan senyum dipaksa. Matanya melotot kearah Rara. Tapi Rara sudah berlalu.

*****



Di dalam mobil, Putri mencoba duduk tenang, walaupun ia sudah mengutuk-ngutuk dan memaki Rara dalam hati, putri tetap belum tenang. Liana yang melihat kegelisahannya mencoba menenangkan



“Tenang Kak, ikuti aja apa instruksi aku, di jamin kakak nggak kenapa-napa. Kan ada aku.” Kata liana lembut.



“Kamu udah tau ya? B..b..benar dia paman kamu?” Tanya Putri berbisik.



“Anggap saja” Liana menjawab sambil menarik nafasnya berat.



“Kok gitu?” Tanya Putri lagi penuh tanda Tanya.tapi Liana tidak menjawab, ia kembali asyik dengan I-Podnya.



Putri tambah penasaran dan bertanya-tanya, tiba-tiba Rustam menengok ke belakang sambil tersenyum kea rah Putri.



‘Kita ke SKA dulu ya. oia, Liana kamu mau ikut atau langsung ke kos?”



“Ikut dulu deh” jawabnya. Liana langsung membuka earphone yang dari tadi menempel ditelinganya dan berbisik kepada Putri.



“Kak, kakak ikuti aja ya nanti. Aku tau kakak lagi pura-pura jadi Rara kan? Si Rara emang iseng. Tapi aku punya rencana, nanti kakak ikuti aja kata aku. Pokoknya kita have fun aja nanti disana. Mau kan?’ bujuk Liana.



“Oke aja deh” jawab Putri cemas.



Setelah perjalanan yang membuat Putri tambah cemas, sampailah mereka di Mall SKA, Mall yang hari ini ada festival band. Muda-mudi Pekanbaru terlihat ramai berkumpul disana. Ada yang belanja atau hanya sekedar cuci mata.



Rustam berjalan di depan, Putri dan Liana mengekor di belakangnya. Ia lalu memasuki sebuah butik yang keliatannya sangat mewah, lalu berbicara sebentar pada pramuniaganya agar mencarikan baju yang cocok untuk Putri, Liana langsung berbisik “Kak, ambil banyak-banyak, tenang aja duitnya banyak kok. Manfaatin aja, nanti bajunya kalo nggak mau kasih aku aja. Okeh!”



Putri semakin pucat pasi, ini dia yang namanya ketemu Om-om. Ia semakin cemas, ditambah rasa penasaran yang menggunung. Apa-apaan Liana menyuruhnya untuk morotin pamannya. Tapi ia bisa apa, ia hanya bisa menurut ketika di ajak Liana ke dalam ruang pas.



“Kak, aku pilih ini, kakak kasi aja ke kasirnya. Nanti paman aku yang bayar. Nanti waktu di mobil baru masukin ke dalam tas aku ya?” perintah Liana. “Duh, bagus banget nih bajunya. Ada mutiara-mutiaranya gini” kata Liana sibuk dengan baju pilihannya, Putri hanya bisa bengong melihat baju yang berbandrol 6 digit angka itu.



“Hah, malah banget Li, inimah bisa beli HP uangnya! Cecar Putri.

“Biarin aja kak, sekali-kali manfaatin paman. Hahaha” tampaknya Liana santai saja.

“Oh ya, kakak pilih mana? Ambil aja kak, rugi loh kalo nggak mau”

“Nggak usah deh” tolak Putri dengan kening berkerut.



Rustam datang menghampiri mereka, lalu bertanya pada Putri apakah sudah punya pilihan, Putri diam saja, tapi Liana menjawabnya.



‘Oh, dia pilih ini. Kata Liana memperlihatkan baju pilihannya.

“Wow, bagus banget pilihan kamu sayang.” Puji Rustam mengagumi gaun merah muda berbahan satin itu. Huek..! sayang? Kata Putri dalam hati

.

“Selera kamu tinggi juga ya? Cuma ini aja?’ tawarnya lagi. Padahal harga baju itu saja sdah dapat melunasi hutang kredit motor mamanya.



“Eh iya. Makasih ya” Putri kembali memaki Rara dalam hati.



“Sialan, si Liana yang enak-enak belanja pake nama aku. Mana di panggil saying lagi. Ampun deh, tua Bangka nggak tau diri! Awas aja Rara kalo aku ketemu di asrama. Aku goreng dia!”



Setelah berkeliling belanja, mereka pun makan. Saat makan rasanya Putri ingin muntah saja. Bagaimana tidak, Rustam selalu menatapnya. Tatapannya bukan sembarang. Penuh nafsu! Putri muak sekaligus takut, ia langsung minta antar pulang setelah makan, Rustam mengiyakan saja. Sedangkan Liana makan dengan lahapnya.



Di rumah, Putri langsung menelpon Rara dan menceritakan semua kejadian, serta keanehan Liana. Rara hanya tertawa terkikik-kikik dan sedikit menyesal, kenapa bukan ia saja yang di ajak belanja. Dasar!



Ditengah obrolan, Putri berinisiatif menelpon Dian, lalu membuat konferensi, akhirnya mereka ngobrol bertiga.

Setelah Putri dan Rara menceritakan kejadian tersebut, Dian tertawa terbahak-bahak lalu bercerita yang membuat Putri dan Rara hampir pingsan!



“Gini loh” kata Dian memulai ceritanya. “Kalian nggak tau ya Rustam itu siapa? Dia itu orang terkaya se Kualu tau! Dia kerja di Malaysia, dan sudah beristri, bahkan lebih dari satu! istri pertama namanya Yuli. Sejak istri pertama itu melahirkan, Rutam berangkat ke Malaysia dan punya istri lagi disana. Waktu dia kembali ke kampung halamannya dia tak lagi menghiraukan istri pertama dan anaknya. Dia malah menikah dengan gadis cantik di desanya, istrinya semakin sedih dan marah, ia minta diceraikan tapi anehnya Rustam menolak. Hingga akhirnya ia kembali lagi ke Malaysia dan meninggalkan gadis desa yang ia nikahi, sejak itu orangtua gadis itu dan masyarakat desa benci sekali dengan Rustam. Apalagi terdengar desas-desus kalau ia juga punya wanita simpanan di Pekanbaru.” Dian berhenti bercerita. Rara dan Putri mendengarkan dengan menahan napas.



“Terus?” desak Rara.



“Nah kemaren dia pulang lagi ke kampung, dan tetap tidak memperdulikan ke dua istrinya. Ia malah menggoda gadis-gadis cantik lainnya. Esy saja sering di godanya, sampai akhirnya dia liat nomor Rara di Hp Esy waktu dia lagi nongkrong di warung ibunya Esy”



Pikiran Rara melayang pada Esy, “sialan si Esy, rupanya dia udah tau brengseknya Rustam, tapi malah ngasi monor aku. Sial! Pantas waktu aku tanya tentang Rustam dia nggak mau jawab! Awas sampe asrama!”



“Mau lanjut nggak nih?” tanya Dian pada Rara yang dari tadi sewot.



“iya.. iya, lanjutin, trus anak istri pertama itu gimana?” Tanya Putri.



“Nah itu dia,” jawab Dian yang semakin membuat Putri dan Rara semakin penasaran. “kalian nggak nyadar ya nama kepanjangan Liana itu siapa?”



“Tunggu..tunggu..!” kata Rara memotong, “nama lengkapnya Yuliana Binti.. binti.. aduh aku lupa.”



“Binti Rustam…! Sambung Putri. “Aku pernah dengar nama lengkapnya waktu terima raport, kan Lian juara, di panggil ke panggung pakai nama itu. Astaga…!” Putri menyadari sesuatu.



“Ya ampun…! Berarti….” Kata Rara kaget setengah mati.



“Yup, betul! Liana itu anaknya Rustam! Kemaren mungkin dia mau di antar ke kosnya di Pekanbaru, mungkin aja dia udah benci banget sama ayahnya yang udah ninggalin dia sejak bayi, makanya dia menyuruh Putri manfaatkan ayahnya.”



‘Astaga.. kok bisa dia bilang itu pamannya? Ih gila ya, dia manggil aku sayang di depan anaknya? Astaga.. nggak nyangka banget” Putri masih syok.



“Idih… amit-amit untung aja aku nggak jadi pacaran sama dia. Gila aja aku jadi ibu tiri temen satu sekolah! Ya ampun, gila tu si Rustam!” cecar Rara.



‘Nah, makanya, aku saranin kamu langsung ganti kartu deh Ra, si Rustam brengsek itu pasti bakalan terus ngejar-ngejar kamu, soalnya dia ngira Rara itu Putri, kan kasian Putri juga” nasihat Dian.



“Iya deh kalo gitu aku ganti kartu aja. Yah… gagal lagi dapetin pangeran. Hehehe”



“Hu.. dasar!!” seru Duan dan Putri berbarengan.



“Tut..tut..tut..”



“Eh, pulsaku abis nih! makasih banget ya Dian infonya, kalau nggak ada… tut..tut..” telpon terputus, pulsa Putri habis.

*****



Seminggu kemudian, Rara hanya bisa termenung memikirkan kejadian itu, ia lalu membeli Koran yang disodorkan pedangang asongan, di berita utama ia membaca headline news.

“DITEMUKAN SEPASANG MAYAT PRIA DAN WANITA DI HOTEL I PEKANBARU, BERIISIAL RSTM DAN NL, DI DUGA LELAKI OVER DOSIS OBAT TERLARANG DAN WANITA INI ADALAH PSK YANG SUDAH LAMA MENGIDAP HIV AIDS.
******

Para tokohnya...



Risah As Rara



Putri Agusti as putri



Azura as Zura



Fidah as Vina

Note :

Semua Cerita ini (kecuali endingnya) di angkat dari kisah nyata, sebagian nama-nama tokohnya juga nyata dan hanya diplesetkan sedikit. Tapi ‘Dian’ itu aku lupa siapa (ada yang bisa ingatkan?).
aku harap tokoh utamanya nggak baca tulisan ini.haha
ini tulisan aku 2 tahun lalu, lucu juga ya baca tulisan lalu, bisa sampai 14 lembar gini, judul nya ntah apa, kalimat pembuka entah apa,isi entah kemana. Haha.. kayaknya aku mau certain tentang asrama, teman-teman satu kamar, kepindahanku, kota bangkinang, dan Rustam dalam satu cerpen. Haha.. makanya jadi panjang dan nggak tau arah gini. Tapi mungkin juga waktu aku menulisnya aku hanya menulis apa yang aku pikirkan, dan nggak mikir aku mau nulis apa (seperti kata mba hylla ^_^)
teman-teman minta kripiknya dong... ^_^